Selasa, 08 Juli 2014

Rensensi buku Lentera Kehidupan Orang Karo dalam Berbudaya

Judul      : Lentera Kehidupan Orang Karo dalam Berbudaya
Penulis    : Sarjani Tarigan
Tebal      : 309 halaman
Di risensi oleh : Abbram Mika Teguh Surbakti
  Suku Karo adalah salah satu suku yang terdapat di Sumatra Utara. Mungkin banyak dari kita yang tidak mengetahui suku Karo ini, tetapi Karo tetaplah salah satu kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Untuk memperkental unsur karo dalam buku bercover merah ini, beberapa bab ditulis dengan menggunakan bahasa karo. Buku ini juga menunjukkan motif-motif khas Karo beserta maknanya di setiap awal bab. Selain itu, juga ditunjukkan beberapa kesusastraan Karo yang banyak tidak diketahui orang.
           Pada bab awal buku ini, penulis membahas tentang perubahan sosial dan modernisasi  yang terjadi di masyarakat Karo dimulai dari masa sebelum penjajahan Belanda sampai zaman sekarang. Modernisasi masyarakat Karo dimulai pada masa penjajahan Belanda, sejalan dengan masuknya agama Kristen ke Tanah Karo. Agama Kristen masuk pertama kali ke Tanah Karo di dusun Buluh Awar, dimana Belanda datang pertama kali ke dusun ini pada tahun 1889. Pada masa ini orang Karo pertama kali mengenal pendidikan, kesehatan, dan ketrampilan perempuan. Pada masa ini pulalah masyarakat Karo mengalami perubahan-perubahan besar seperti perubahan sistem perekonomian, yang awalnya hanya berupa sistem barter. Sistem pemerintahan masyarakat Karo juga berubah, yang awalnya pimpinan dipegang oleh orang pertama di antara sesamanya (primus inter pares), berubah menjadi sistem kepemimpinan dipegang oleh seorang kepala desa (sibayak) yang dipilih oleh Belanda. Sedangkan saat Jepang masuk ke Tanah Karo, telah tertanam rasa cinta kepahlawanan dan disiplin yang kelak akan berguna dalam perjuangan dan persiapan kemerdekaan Republik Indonesia.
           Bangsa Karo dan bangsa Melayu memiliki suatu hubungan yang sangat erat. Hal ini dikarenakan kedua etnis ini berasal dari Kerajaan Haru yang kemudian pecah menjadi Kesultanan Deli dan Kerajaan Haru IV yang didiami oleh masyarakat Karo. Sebelum kedatangan Belanda, masyarakat Karo menjalani pemerintahan Adat, dimana semua orang adalah raja tergantung hubungan kekerabatannya. Suku Karo berasal dari keturunan bangsa India, Mongol dan suku Batak (suku yang mendiami daerah Sumatera Utara sampai ke Aceh).
           Bahasa Karo sendiri merupakan bahasa khusus yang memiliki aksara khusus pula. Bahasa Karo juga memiliki kemiripan dengan bahasa Sansekerta, hal ini diperkirakan terbawa dari penyebaran agama Hindu ke Tanah Karo. Selain itu Bahasa Karo merupakan bahasa tertua kedua di Indonesia setelah Bahasa Kawi. Selain bahasa, Suku Karo juga memiliki kesenian tradisional yang cukup unik, yaitu gendang. Karo juga memiliki pakaian adat tersendiri yang digunakan dalam pesta-pesta adat, seperti acara pernikahan atau kerja tahun.
           Suku Karo terbagi menjadi lima marga besar (klan) yang disebut merga silima, marga (beru untuk perempuan) sendiri berasal dari kata meherga yang artinya mahalDi dalam adat Karo, hal yang terpenting adalah kita tahu status kekerabatan kita dengan orang lain. Untuk menemukan status yang benar hal yang menjadi kebiasaan orang Karo adalahertuturErtutur dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu dimulai dari menanyakan marga, kemudian menanyakan bere-bere(beru ibunya), setelah itu menanyakan Binuang (bere-bere) ayah, Kempu (bere-bere Ibu), Kampah (beru nenek dari ayah), dan Soler (beru nenek dari Ibu). Umumnya proses ertutur pada perkenalan biasa hanya sampai tahap marga dan bere-bere, sedangkan tahap yang lain hanya untuk acara adat. Namun, jika tidak ditemukan status kekerabatan yang pas, maka prosesertutur dilanjutkan ke silsilah keluarga sampai ke keluarga di kampung.
           Adat Karo sangat memegang teguh  Rakut Sitelu, yaitu sistem kekerabatan yang dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu Senina, Anak Beru, dan Kalimbubu. Senina artinya status kita dengan orang itu sama atau bersaudara. Kalimbubuartinya orang tersebut lebih dihormati karena merupakan pemberi dara kepada marga kita, yaitu kita disini berperan sebagaiAnak Beru. Dalam adat Karo, setiap orang pasti mempunyai Senina, Anak Beru, dan Kalimbubu. Rakut Sitelu inilah yang menjadi dasar pemerintahan adat yang berlangsung di Karo. Untuk acara-acara adat, Rakut Sitelu ini dikembangkan menjadi Tutur Siwaluh yang lebih mendetailkan Rakut Sitelu tadi.
           Acara-acara adat Karo umumnya terpengaruh oleh agama Hindu. Sebagai contohnya acara adat Perkualuh, yaitu upacara penghanyutan abu jenazah. Selain itu juga terdapat perayaan ‘Kerja Tahun’ yang dilaksanakan setiap tahun sebelum masa menanam padi tiba. Perayaan Kerja Tahun ini dilakukan selama satu minggu penuh. Pada hari pertama sampai keempat perayaan ini dilakukan dengan mengumpulkan suatu bahan makanan tertentu. Sedangkan pada hari kelima yang merupakan puncak perayaan, dirayakan dengan berkunjung ke rumah kerabat-kerabat untuk memakan makanan yang telah dikumpulkan sebelumnya. Pada hari keenam, masyarakat Karo akan membuat cimpa, makanan khas Karo. Pada hari terakhir, orang Karo akan berdiam di rumah untuk berenung karena tidak boleh ada kegiatan lain (layaknya hari Nyepi).
           Dalam adat Karo ada suatu cirri khas yang disebut rebu, yaitu pantangan untuk berbicara secara langsung pada kekerabatan tertentu. Rebu yang dikenal antara lain, antara ‘mami’ (ibu mertua) dengan ‘kela’ (menantu laki-laki), antaran ‘bengkila’ (bapak mertua) dengan ‘permain’ (menantu perempuan). Rebu juga berlaku bagi sesame ‘turangku’, yaitu sesame pasangan dari saudara ipar. Akan tetapi jika keadaan memaksa, digunakan suatu perantara untuk berbicara. Bentuk suatu perantara dapat berupa pembubuhan kata nina, yang artinya kata atau dikatakan oleh. Kedua dengan menggunakan benda-benda yang ada di tempat itu, misalnya “nindu o batu”, yang artinya “katakanlah kepadanya oh batu”. Dengan cara ini, mereka menganggap bahwa komunikasi mereka tidaklah secara langsung, melainkan menggunakan batu sebagai perantara.
           Dalam adat karo, menikah dengan sepupu (impal yang sebenarnya) adalah hal yang wajar. Impal  adalah orang yang bermarga atau beru sama dengan ibu kita. Hal ini dimaksudkan agar harta keluarga tidak berpindah tangan. Perkawinan adalah suatu kewajiban bagi masyarakat Karo. Dalam perkawinan Karo, perempuan akan “dibeli” oleh laki-laki, dalam adat karo disebut “tukur”. Adat ini merupakan sebuah pengaruh Hindu ke adat Karo. Perempuan sendiri dalam adat karo merupakan orang yang sangat penting. Perempuan (ibu) dalam kebudayaan Karo bertindak sebagai pengatur keuangan, bidan, salah satu tulang punggung keluarga, pendidik anak, penentu kebijakan dalam keluarga dan dukun. Oleh karena itu kaum pemberi perempuaan (kalimbubu) menjadi seorang yang terhormat dalam adat Karo. Perkawinan dalam adat Karo terbagi menjadi beberapa tahap, yaitu Nangkih, Ngembah Belo Selambar, Nganting Manuk, mata Kerja, Mukul, danNgulihi Tudung. Dalam perkawinan adat Karo terdapat suatu adat yang berbentuk drama, dimana kalimbubu seolah-olah tidak setuju dengan perkawinan ini, jadi orang yang mau menikah ini harus datang secara langsung dan memberi penghormatan serta bermufakat dengan kaum kalimbubu tersebut sampai mereka setuju dengan perkawinan ini.
           Pada akhirnya buku ini cukup mudah dimengerti karena diberikan penjelasanyang cukup detail, yang dapat dimengerti siapa saja. Buku ini juga memberikan contoh-contoh nyata baik berupa dialog atau berupa suatu pengalaman yang membuat kita semakin mudah untuk memahaminya, walapun dalam penyajian buku ini terdapat kekurangan, yaitu tidak dimuatnya halaman spesifik awal bab pada daftar isi. Buku yang target utamanya adalah masyarakat Karo ini mengajak kita, khususnya masyarakat Karo untuk lebih mencintai budaya kita yang merupakan ragam khas yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
          

refrensi http://apple-swing.blogspot.com/2011/05/karosebuah-resensi.htm