Julukan mahasiswa yang melekat pada kita harus diimbangi dengan paradigma. Paradigma adalah sebuah cara berfikir (mind set) yang terorganisir dan juga terarah. Paradigma juga merupakan suatu perangkat kepada nilai-nilai suatu pandangan tentang dunia sekitar. Paradigma akan membawa seoarang mahasiswa untuk berfikir sistematis, logis, dan juga berterima. Sebuah cara berfikir yang bukan tanpa dasar, akan tetapi cara berfikir yang dilakukan dengan melakukan pengidentifikasian, analisa dan sebagainya sampai menemukan akar persoalannya (problem root). Seorang yang punya paradigma akan berfikir kritis dan juga transformative, dalam artian dalam menghadapi segala realita persoalan tidak mudah untuk menjustifikasi tanpa melakukan penganalisaan sebelumnya. Melakukan kritisasi terhadap sebuah kemapanan yang menghegemoni kebebasan berfikir dan menawarkan sebuah solusi (transformative). Solusi itu bisa berupa banyak hal, misalnya memberikan jalan keluar dari persoalan itu setelah melakukan pembacaan yang matang. Otak yang diberikan Tuhan pada kita adalah merupakan sebuah anugerah yang luar biasa taranya yang membedakan antara manusia dan binatang. Otak yang dianugerahkan pada kita haruslah kita syukuri, diantaranya dengan menggunakannya untuk berfikir akan sebuah kebenaran.
Seorang mahasiswa harus mempunyai kesadaran yang tinggi dalam melihat realita. Mahasiswa mempunyai segudang julukan yang cukup indah. Misalnya banyak yang menyebut mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change), agen pengetahuan (agent of knowledge), kaum intelektual, kaum beradab dan masih banyak lagi. Berbicara tentang kesadaran, ada tiga macam kesadaran ; kesadaran magic, yaitu kesadaran yang dalam melihat sesuatu selalu dikaitkan takdir Tuhan, misalnya ketika sebuah argument yang mengatakan bahwa ketika si A menjadi orang bodoh itu adalah sudah menjadi takdir Tuhan. Yang kedua adalah kesadaran naïf, yaitu kesadaran yang dalam melihat sesuatu selalu menyalakan si korban, misalnya ketika ada orang yang miskin dan menjadi pengangguran maka itu adalah kesalahan dari si korban sendiri. Yang ketiga adalah kesadaran kritis yaitu kesadarn yang dalam melihat realitas melakukan sebuah pembacaan yang matang dan melakukan pengidenifikasian untuk menemukan akal persoalan (problem root) untuk kemudian mencari obat (solusi) untuk menuntaskan permasalahan tersebut.
Dalam kaitannya dengan berfikir ilmiah, Ibnu Rush seorang salah seorang filsuf islam pernah mengatakan “saya hanya tahu satu hal saya tahu bahwa saya telah tidak ragu bahwa saya telah meragukan sesuatu”, penggalan perkataan Ibnu Rush tersebut sangat mendalam dan filosofi, ini mengindikasikan bahwa dalam berfikir kritis dan ilmiah kita harus berani meragukan sesuatu dan kita harus percaya dan sadar bahwa kita telah meragukan sesuatu sampai pada akhirnya kita menemukan kebenarannya. Seseorang yang punya kesadaran yang tinggi akan berikap selalu ingin tahu dan memppunyai usaha dalam mengembangkan keilmuannya. Sebagaimana Socrates filsuf Yunani pernah mengatakan “ Saya hanya tahu satu hal bahwa saya tidak tahu apa-apa”. Secara implisit perkataan itu berarti bahwa sebagai seoarang pelajar/mahasiswa kita harus merasa tidak tahu apa-apa, dank arena tidak tahu apa-apa maka harus segera mencari tahu dengan mencari ilmu dan pengetahuan sebanyak-banyaknya untuk menutupi ketidaktahuannya.
Kamahl, seorang sastrawan asal inggris menggambarkan kekaguman pada kekasihnya lewat methaporical expression “white magnolia tree”, maka akan sangat indah ketika kita menggambarkan kekasih kita (ilmu pengetahuan) dalam konteks mahasiswa seperti “White magnolia tree” yang bentuknya sangat indah dan mengagumkan. Ketika kita bisa memposisikan ilmu pengetahuan sebagai kekasih kita yang kita cintai maka kita akan melakukan usaha yang keras untuk mendapatkan sesuatu yang kita cintai itu. Kamahl juga mewakilkan kekuatan apa yang dicintainya dengan lagunya yang berjudul “Wind Beneath My Wings”, dia menggambarkan kekuatan itu lewat angin di bawah sayap-sayapku. Sebuah penggambaran yang sangat mendalam. Angin mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam kehidupan kita. Coba bayangkan ketika tidak ada angin di dunia ini maka mungkin tidak ada kehidupan di dunia ini, angin juga dapat menggerakkan kincir pesawat terbang untuk menembus angkasa sungguh dahsyat kekuatan cinta itu. Begitu pun juga ilmu yang kita cintai akan mampu menembus kegelapan fatamurgana yang telah mengaburkan mata hati dan juga otak kita.
William Shakespeare sastrawan asal inggris menggambarkan pentingnya sebuah cinta pada penggalan puisinya “A world of Earthly Blessing to Our Souls, If Simpathy of Love Unite Our Thoughts”. Shakespeare juga mewakilkan pentingnya keberadaan cinta di dunia ini. Dunia dari duniawi akan memberkati jiwa kita ketika belas kasihan cinta menyatukan pemikiran kita. Sungguh dahsyat kekuatan cinta sampai bisa masuk pada alam pikiran kita. Cinta bagaikan sebuah udara yang mampu menembus segala sudut. Maka dapatkan cinta itu dengan melakukan usaha yang keras untuk mendapatkan hasilnya. Untuk dapat sampai puncak gunung maka kita harus memulainya dengan satu langkah kaki. Kalau kita mau pergi ke Surabaya misalnya maka kita tidak akan sampai ke sana kalau tidak dimulai dengan satu langkah kaki. Untuk mendapatkan suatu yang kita inginkan ada banyak jalan yang muaranya pada akhirnya pada tujuan yang diinginkan. Cepat, lambat, lurus, berkelok itu semuanya adalah sebuah proses dalam menggapai tujuan itu. sebagaimana Syarifuddin Yahya Al-Imrithy dalam penggalan syairnya mengatakan “…..Idzil Fataa Hasba’tiqodihi Rufi’ Wakullu Maalam Ya’taqid Lam Yantafi’….. ”. siapa yang menanam maka ia akan mendapatkan hasilnya. Siapa yang mau berpuasa maka ia akan menemui lebaran. Siapa yang mau berusaha maka ia akan mendapatkan kesuksesan dan juga tujuannya. Sebaliknya ketika tidak ada keinginan dan perjuangan untuk mendapatkannya maka ia juga tidak akan mendapatkan apa-apa. Sebagai seorang pemuda kita harus menancapkan semangat dalam diri kita seperti kobaran api yang tetap menyala.
Ada sebuah ungkapan yang sangat indah untuk diresapi maknanya dan dapat dijadikan inspirasi kita untuk tetap surfive dalam berproses dan belajar, yaitu : “ siapapun adalah guru, apapun adalah ilmu dan dimanapun adalah sekolah dan tempat untuk belajar”. Kita bisa belajar pada siapa saja tidak terbatas pada guru dan dosen kita, tidak terbatas pada usia tua/muda. Kita bisa belajar dimana saja tidak terbatas pada sekolah atau pun kampus saja, kita bisa belajar dimanapun kita mau, kita bisa belajar di luar kelas dan di alam bebas. Alam adalah merupakan tempat yang sangat indah untuk dijadikan media dalam belajar karena di dalamnya ada banyak falsafah hidup yang dapat kita temukan. Apapun yang kita dengar dan baca adalah merupakan ilmu karenanya dalam menuntut ilmu tidak terbatas pada ilmu A atau B saja, tetapi semua adalah ilmu dan dapat kita pelajari sehingga ke depan kita akan menjadi actor-aktor intelektual yang mempunyai multiple intelegency. Selamat Berproses untuk menapaki puncak impian itu! Move or Removed!
Oleh Wiranto
Guru di SMA Negeri 1 Wonosegoro, mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang.
SepertiI tahun-tahun sebelumnyaa, penerimaan siswa baru ditindaklanjuti dengan Masa Orientasi Siswa (MOS). Umumnya kegiatan ini dilaksanakan untuk memberikan orientasi kepada siswa baru tentang sarana dan prasarana pembelajaran di sekolah berikut pengenalan para pendidik dan juga tenaga teknis maupun administrasinya.
Tak lupa pula beberapa materi yang terkait dengan Wawasan Wiyata Mandala, materi keorganisasian, dan juga materi pengembangan karakter lainnya beserta aturan-aturan akademik yang berlaku di sekolahan yang bersangkutan.
Pada intinya, pelaksanaan MOS bertujuan untuk memberikan kesan positif dan menyenangkan bagi siswa baru terhadap lingkungan pendidikan barunya.
Demi menghindarkan adanya kekerasan (bullying) dalam MOS, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) akan mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) tentang penerimaan siswa baru, yang rencananya keluar pertengahan Juni lalu. Pastinya, kemunculan Permendiknas ini merupakan jawaban terhadap kekhawatiran sebagian besar orang tua siswa bahwa MOS akan berubah menjadi ajang perpeloncoan dan balas dendam oleh siswa senior.
Kekhawatiran orang tua siswa tersebut tentunya tak mengada-ada, karena meski beberapa tahun terakhir wacana penolakan terhadap model perpeloncoan ini sempat keras disuarakan, di beberapa sekolah masih saja terbetik kabar tentang adanya korban fisik ataupun jiwa.
Entah kapan pelaksanaan MOS mulai menyimpang dari amanat awal dan menjurus pada tradisi perpeloncoan dan kekerasan (bullying). Namun, bisa dipastikan penyelewengan ini bermula dari tak dipahaminya esensi MOS di sekolah, lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh guru, ataupun tak jelasnya model penyampaian materi MOS. Sebab lain yang tak kalah penting adalah tidak adanya pembekalan dan penyadaran terhadap siswa senior dalam memperlakukan siswa baru saat MOS, padahal mereka adalah garda depan yang bersinggungan langsung dengan mereka.
Reorientasi MOS
Mengantisipasi agar pelaksanaan MOS tahun ini tidak meminta korban lagi, reorientasi MOS mutlak perlu dilakukan. Permendiknas bukanlah satu-satunya solusi ampuh, karena toh bagaimanapun, hasil akhir akan kembali pada aktor-aktor lapangan. Dengan reorientasi, aura perpeloncoan dan kekerasan yang selama ini melingkupi pelaksanaan MOS bisa berubah menjadi aura pencerdasan.
Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat (2008: hal. 989), istilah ’’orientasi’’ didefinisikan sebagai ’’peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dsb) yang tepat dan benar’’. Mengacu isitilah tersebut, kegiatan orientasi erat hubungannya dengan sikap, persepsi, ataupun pola tingkah laku yang benar dan tepat. Mengait MOS, model orientasi yang tepat akan mengarahkan siswa baru pada sikap dan perilaku yang diharapkan, sebaliknya (ini bahayanya!) orientasi yang keliru justru akan membawa siswa baru pada perilaku yang keliru dan menyesatkan. Lantas reorientasi seperti apa yang mesti dilakukan?
Pertama, mengubah paradigma siswa senior sebagai pelaksana MOS di lapangan bahwa MOS bukanlah sarana balas dendam atas perlakuan yang telah mereka terima dahulu, melainkan sebuah ajang untuk saling asah, asih, dan asuh pada siswa baru agar mereka mampu beradaptasi dan mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Bisa jadi upaya mengubah paradigma ini tak semudah teori, bahaya laten kekerasan oleh siswa senior masih berpotensi untuk muncul.
Oleh karena itu, langkah kedua yang mutlak dilakukan adalah diintensifkannya pengawasan yang dilakukan oleh guru secara real time. Lemahnya pengawasan atau mudahnya perizinan yang diberikan kepada siswa senior terkait dengan acara MOS bisa jadi justru berujung pada tindak kekerasan. Di sini pula, kesamaan persepsi mengenai materi acara MOS antara guru dengan siswa senior mutlak diperlukan.
Last but not least, ketiga, adanya variasi metode penyampaian materi yang benar-benar menyentuh model Taksonomi Bloom (1956) yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pengutamaan aspek kognitif melalui metode konvensional mestilah dijauhi demi upaya pencerdasan anak didik. Pelaksanaan MOS mesti menjunjung tinggi prinsip pembelajaran yang “multidimensional, menyenangkan, mengasyikkan, mencerdaskan, memenuhi kebutuhan dan memberi makna”.
Perlu diingat bahwa MOS merupakan tahap orientasi untuk membentuk sikap akademik dan sikap etis siswa. Metode yang menyentuh multidimensi kepribadian akan memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan intelektualitas dan karakter siswa baru. Kini, MOS yang mencerdaskan bukan lagi merupakan pilihan melainkan sebuah keharusan demi memotong spiral kekerasan di sekolah.
Diharapkan saat MOS tiba, siswa baru bukannya gemetar ketakutan disambut muka sangar, melainkan sorak kegirangan karena mereka akan menjalani saat-saat menyenangkan dan mencerdaskan di tengah senyuman serta pelukan kasih sayang bersama kakak kelas. (Sumber: Suara Merdeka, 8 Juli 2011)
Prolog
Masa transisi setelah kelulusan dan wisuda bisa dibilang masa-masa galau buat sarjana baru. Saya pun demikian. Bingung antara keinginan langsung buka usaha, melanjutkan studi, atau ikut-ikutan cari kerja seperti kebanyakan teman-teman lainnya. Sebenarnya, sedikit banyak sih saya sudah merancang roadmap hidup saya ke depan. Tapi sebelum cerita tentang itu, saya lagi pingin nulis tentang cerita saya selama 4 tahun ini di Universitas Ma Chung Malang.
Post ini bukan untuk menyombongkan diri, bukan juga untuk ajak eksistensi. Sekali lagi, saya hanya ingin berbagi cerita.
Ehm, sebenernya saya pingin menceritakan sebagian dari rentetan post ini waktu wisuda, kalau-kalau saya diminta membawakan sambutan perwakilan mahasiswa. Tapi ternyata bukan jatah saya, ya sudah. Hehe…
Menjelang dan pasca kelulusan SMA
3 tahun saya sekolah di SMA Negeri 1 Malang. Jujur, bagi orang lain mungkin masa SMA adalah masa yang paling indah. Buat saya, bisa dibilang masa paling suram. Atau, lebih tepatnya awal mula masa tersuram seumur hidup saya. Teman-teman dekat saya semasa SMA mungkin tahu, bahwa di SMA inilah saya kehilangan sahabat terbaik saya. Sejak itu saya jadi benar-benar kehilangan arah. Apa saja saya lakukan dengan harapan bisa mengisi kekosongan yang tiba-tiba itu.
Setelah lulus, saya pun terombang-ambing. Dengan teman dekat saya yang lain pun, saya nggak ada kesepakatan tertentu mau masuk bareng ke kampus mana. Yang pasti, prinsip saya untuk nggak mau masuk universitas negeri tetap saya pegang teguh. Salah satu bentuk komitmen itu, saya memang sengaja nggak ikutan SPMB — Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru, nama ujian nasional masuk perguruan tinggi waktu itu. Seandainya negeri pun, saya hanya mau ITB. Itupun saya juga merasa malas untuk belajar buat SPMB.
Ditambah lagi, kondisi keuangan keluarga saya waktu itu memang sedang kurang baik karena 3 bersaudara bersamaan pindah jenjang pendidikan. Jadi, saya berniat untuk masuk universitas swasta. Pilihan awal saya adalah VEDC dengan iming-iming D4-nya. Ya, waktu itu visi saya masih jadi pekerja yang punya skill tinggi. Beda dengan sekarang yang ingin segera sukses dengan jadi entrepreneur. Thanks to Universitas Ma Chung beserta lingkungannya yang mengubah paradigma saya.
Balik ke masa pemilihan kampus. Di suatu hari waktu perjalanan pulang sekolah, saya lihat sebuah banner besar di pinggir jalan. Kalo nggak salah, tulisannya itu iming-iming beasiswa di sebuah universitas baru di Malang. Beberapa hari setelahnya, saya coba jalan-jalan ke lokasi kampus itu.
Sempat nyasar, tapi ketemu juga kawasan perumahan Villa Puncak Tidar. Masih baru, jalannya masih setengah dibangun. Belum banyak rumah berdiri, malahan masih banyak tanah yang dijual. Kelihatan dari jauh gedungnya cukup besar. Saya nggak berani masuk, cuma lihat dari luar. Waktu itu, rasanya ada sebuah “panggilan” yang mengatakan bahwa ini adalah jalan saya.
Saya coba cari pengikut sebanyak mungkin di sekolah saya. Beberapa teman saya pengaruhi untuk ikut mencoba tes masuk kampus ini. Alhasil, waktu itu saya tes sama Gilang, dan dibayarin. Duit pendaftaran 100rb waktu itu sudah cukup besar bagi saya. Bodohnya saya, karena saya pikir bakal mudah, saya gak ada persiapan waktu ujian masuk. Padahal dari situ saja saya punya peluang untuk dapat beasiswa penuh. Akhirnya saya hanya dapat beasiswa berupa potongan uang gedung senilai 50%, jadinya hanya bayar 6jt saja.
Nggak habis pikir, dengan pertimbangan biaya yang nantinya akan dikeluarkan, serta peluang dan “bisikan” yang saya dapat, saya memilih Universitas Ma Chung ini. Oiya, sebelumnya saya juga sudah mendapat pengumuman diterima di STT Telkom. Sebenarnya oke juga kampus ini, dengan paradigma pekerja saya waktu itu. Sayangnya dengan pertimbangan biaya yang hampir sama dengan VEDC dan hitungan total di Ma Chung sampai lulus (sekitar 40jt minus transport dan uang sehari-hari), saya membulatkan tekad untuk menolaknya.
Sebelumnya saya sempat mencoba menguji kemampuan mengambil beasiswa luar negeri. Tapi dasarnya males belajar, waktu tes ya tanpa persiapan. Hasilnya? Tentu saja nihil. Suatu kebiasaan yang tidak patut dicontoh. Hehe…
Cukup banyak teman-teman sekolah yang bingung kenapa saya malah milih masuk universitas swasta ini daripada yang lainnya. Sekedar info, di SMA saya terkenal termasuk dalam golongan siswa “berotak”, yang kesannya bakal dengan mudah lolos SPMB.
Kembali ke masalah dana. Ya, jumlah uang yang harus dibayarkan pada saat pertama kali masuk kampus ini bukanlah suatu bilangan yang kecil. Apalagi waktu itu bebarengan dengan kenaikan jenjang studi adik-adik saya. Yang saya dari SMA ke kuliah, adik saya yang pertama dari SMP ke SMA, dan adik saya yang kedua dari TK ke SD. Alhamdulillah, kalau urusan pendidikan gini, orang tua saya nggak mau main-main. Meski cukup mahal, saya disupport untuk tetap masuk Ma Chung. Adik saya yang pertama masuk RSBI Darul Ulum Jombang, bukan sekolah yang murah juga. Adik saya yang kedua, diterima masuk SD Islam Sabilillah, yang emang sudah terkenal mahalnya.
Saking besarnya pengeluaran yang mesti dipersiapkan waktu itu, agar saya bisa membayar uang pangkal masuk kampus swasta nan mewah yang jumlahnya berjuta-juta ini, Ibu saya menjual sepeda motornya – Supra X generasi pertama. Jadinya Ibu saya harus naik angkot untuk berangkat ke kantornya yang notabene mesti ditempuh selama kurang lebih 30 menit. Jual sepeda motor itu pun nggak cukup, orang tua saya masih harus pinjam sini situ agar uang pangkal saya bisa terbayarkan. Banyak? Ya. Tapi inilah cikal bakal pemicu saya untuk terus berkembang di Universitas Ma Chung ini.
7 Juli 2007, Universitas Ma Chung resmi berdiri. Sebulan sebelum memulai tahun ajaran baru itu, saya sebagai calon mahasiswa baru menjalani masa orientasi universitas. Ya, sebulan. Cukup lama memang, tapi inilah salah satu hal luar biasa yang berbeda dari hampir seluruh kampus yang ada di Indonesia. Dan inilah awal dari perubahan diri saya yang saya rasa cukup drastis ini.
Masa lalu bukan untuk disesali, bukan juga untuk dipamerkan. Tapi masa lalu selalu bisa memberi pelajaran bagi yang mau untuk menjadi bijak.
PERPELONCOAN akrab dikaitkan dengan suatu kegiatan yang keras, anarkis, menindas, dan tidak mendidik. Image itu seakan sulit dilepaskan dari kegiatan orientasi mahasiswa/siswa baru. Padahal, jika dirunut asal muasal tujuan dari kegiatan tersebut, kita akan menemukan sebuah tujuan yang sebenarnya mulia, namun tidak sedikit dalam segi aplikasinya cenderung melenceng atau keluar dari rambu-rambu semestinya.
Orientasi harus tetap ada dan dikembangkan. Namun, substansi dari kegiatan harus benar- benar dikaji ulang dan didalami, kalau perlu melibatkan pihak dosen/guru sebagai pengawas dan pembimbing untuk kegiatan tersebut.
Mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi kegiatan orientasi akademik mahasiswa/siswa baru, sehingga seluruh kegiatan dapat dimonitor dan diarahkan oleh guru pendamping tersebut.
Benar memang paradigma senior dan junior masih sangat kental dalam kegiatan orientasi mahasiswa/ siswa baru, sebuah kultur yang terbangun sebagai manifestasi dari sebuah praktik hegemoni. Senior dianggap sebagai seorang yang paling berpengalaman dan harus dihormati serta dipatuhi perintahnya, sedangkan junior menjadi kambing congek yang harus berkata ya, siap, dan laksanakan ketika sang senior memberikan perintah. Hal semacam ini tidaklah pantas jika dibiarkan berkembang di dalam dunia kampus/ sekolah, karena hanya akan memunculkan dan mewariskan budaya pendendam bagi penerusnya kelak.
Hal yang demikian seharusnya dihapus dan diganti dengan sikap saling mengerti, hormat-menghormati antarmahasiswa/siswa. Tanggalkan atribut senior dan junior untuk membangun budaya baru yang penuh dengan nilai- nilai luhur dan edukatif. (24) Jika kita membahas pendidikan, tentu kita ingat peranannya dalam kemajuan suatu bangsa. Contohnya di Jepang, pada tahun 1945 negara ini berantakan karena bom atom yang meluluhtantakkan Hiroshima-Nagasaki. Tindakan pertama Perdana Menteri Jepang saat itu adalah menanyakan jumlah guru yang masih tersisa. Sekarang kita bisa melihat betapa luar biasanya Jepang dengan segala keunggulannya di berbagai bidang. Begitu pula jika kita melihat China sang raksasa ekonomi, serta Malaysia yang dahulu murid dan sekarang malah menjadi “guru” bagi Indonesia. Kesuksesan ini terjadi karena kesadaran yang tinggi akan kualitas sistem pendidikan di kedua negara tersebut.
Orientasi harus tetap ada dan dikembangkan. Namun, substansi dari kegiatan harus benar- benar dikaji ulang dan didalami, kalau perlu melibatkan pihak dosen/guru sebagai pengawas dan pembimbing untuk kegiatan tersebut.
Mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi kegiatan orientasi akademik mahasiswa/siswa baru, sehingga seluruh kegiatan dapat dimonitor dan diarahkan oleh guru pendamping tersebut.
Benar memang paradigma senior dan junior masih sangat kental dalam kegiatan orientasi mahasiswa/ siswa baru, sebuah kultur yang terbangun sebagai manifestasi dari sebuah praktik hegemoni. Senior dianggap sebagai seorang yang paling berpengalaman dan harus dihormati serta dipatuhi perintahnya, sedangkan junior menjadi kambing congek yang harus berkata ya, siap, dan laksanakan ketika sang senior memberikan perintah. Hal semacam ini tidaklah pantas jika dibiarkan berkembang di dalam dunia kampus/ sekolah, karena hanya akan memunculkan dan mewariskan budaya pendendam bagi penerusnya kelak.
Hal yang demikian seharusnya dihapus dan diganti dengan sikap saling mengerti, hormat-menghormati antarmahasiswa/siswa. Tanggalkan atribut senior dan junior untuk membangun budaya baru yang penuh dengan nilai- nilai luhur dan edukatif. (24) Jika kita membahas pendidikan, tentu kita ingat peranannya dalam kemajuan suatu bangsa. Contohnya di Jepang, pada tahun 1945 negara ini berantakan karena bom atom yang meluluhtantakkan Hiroshima-Nagasaki. Tindakan pertama Perdana Menteri Jepang saat itu adalah menanyakan jumlah guru yang masih tersisa. Sekarang kita bisa melihat betapa luar biasanya Jepang dengan segala keunggulannya di berbagai bidang. Begitu pula jika kita melihat China sang raksasa ekonomi, serta Malaysia yang dahulu murid dan sekarang malah menjadi “guru” bagi Indonesia. Kesuksesan ini terjadi karena kesadaran yang tinggi akan kualitas sistem pendidikan di kedua negara tersebut.
Ada sebuah ungkapan menarik tentang lingkup pendidikan, ”knowledge is power, but character is more”. Inilah yang telah diterapkan di banyak negara maju. Sebagai contoh, untuk sebuah pelajaran seni, Amerika memberikan penilaian yang bersifat afektif yakni good, excellent dan perfect. Mengapa demikian? Itu disebabkan ada pesan moral yang ingin disampaikan kepada sang murid, yakni menghargai perbedaan persepsi, kreativitas dan kebebasan berekspresi. Lain halnya dengan di negeri ini yang lebih senang menggunakan angka dengan rentang antara 0-100 saat memberikan penilaian. Akibatnya, jika anda meminta satu kelas siswa sekolah untuk menggambar, maka setengahnya akan menggambar dua buah gunung yang mengapit matahari di tengahnya, dan ditambah laut atau sawah. Tidak heran, karena mindset mereka adalah guru mereka akan memberi nilai dari bagusnya gambar, bukan dari kreasi atau inovasi yang bisa mereka hasilkan.
Contoh lainnya adalah Selandia Baru. Di negara ini memberlakukan sistem yang cukup menarik, siswa level SMA hanya diwajibkan mengambil dua mata pelajaran wajib, yakni Matematika dan Bahasa Inggris. Selebihnya adalah pelajaran pilihan yang disesuaikan dengan cita-cita masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar